URGENSI IMPLEMENTASI GOOD CORPORATE

GOVERNANCE (GCG) DI INDONESIA

Menurut teori ekonomi klasik, perekonomian yang didasarkan pada sistem bebas berusaha (Laissez Faire) adalah self-regulating, artinya mempunyai kemampuan untuk kembali ke posisi keseimbangan secara otomatis. Pemerintah tidak perlu campur tangan dalam perekonomian.

Di Pasar Barang sifat self-regulating ini dicerminkan oleh adanya proses yang otomatis membawa kembali ke posisi GDP yang menjamin full-employment, apabila karena sesuatu hal perekonomian tidak pada posisi ini. Landasan dari keyakinan ini adalah;

1) Berlakunya hukum Say yang menyatakan bahwa “Supply creates its own demand,”

2) Anggapan bahwa semua harga fleksibel

Di Pasar Tenaga Kerja, dalam jangka pendek hanya ada pengangguran sukarela. Tetapi pengangguran inipun hanya bersifat sementara, karena apabila harga-harga turun (termasuk upah), maka konsumsi dan produksi akan kembali lagi ke tingkat semua (yaitu full employment). Di Pasar Uang, terdapat teori kuantitas yang menyatakan bahwa permintaan akan uang adalah proporsional dengan nilai transaksi yang dilakukan masyarakat. Di Pasar ini ditentukan tingkat harga umum; apabila jumlah uang yang beredar (penawaran akan uang) naik maka tingkat hargapun naik.

Keyness berpendapat bahwa sistem Leissez Faire murni tidak bisa dipertahankan. Pada tingkat makro, pemerintah harus secara aktif dan sadar mengendalikan perekonomian ke arah posisi “Full Employment”-nya, sebab mekanisme otomatis ke arah posisi tersebut tidak bisa diandalkan secara otomatis. Menurut Keyness, situasi makro suatu perekonomian ditentukan oleh apa yang terjadi dengan permintaan agregat masyarakat apabila permintaan agregat melebihi penawaran agregat (atau output yang dihasilkan) dalam periode tersebut, maka akan terjadi situasi “kekurangan produksi”. Pada periode berikutnya output akan naik atau harga akan naik, atau keduanya terjadi bersama-sama. Apabila permintaan agregat lebih kecil daripada penawaran agregat, maka situasi “kelebihan produksi” terjadi. Pada periode berikutnya output akan turun atau harga akan turun, atau keduanya terjadi bersama-sama.

Di sisi lain, ketika Williamson (1977) mengemukakan teorinya tentang biaya transaksi (transaction cost economic), dia berasumsi bahwa hirarki dalam organisasi adalah model yang memiliki biaya lebih rendah dibandingkan dengan mekanisme pasar. Tapi dia lupa menganalisa bahwa birokrasi juga memiliki biaya (bureaucratic cost) yang diakibatkan oleh sikap oportunis (opportunism) para aktornya, sehingga bisa muncul korupsi. Para teoritisi bisnis yang menaruh perhatian pada sumber daya internal organisasi (resource-based view) mengemukakan “teori reputasi” sebagai anti-tesis terhadap fenomena perilaku oportunistik (Barney, 1986). Reputasi adalah komitmen psikologis dari para aktor yang dibakukan menjadi sebuah keyakinan bersama yang akan menggerakkan aksi para individu (Levinthal, 1991). Dengan kata lain, reputasi adalah budaya perusahaan (corporate culture) yang menentukan perilaku organisasi dan individu di dalamnya.

Sebenarnya, teori reputasi digagas dalam konteks relasi kesalingtergantungan antar-organisasi yang secara positif saling menguntungkan, dan bukan saling mencelakai (non-zero-sum game). Dan tesis ini persis mempersoalkan teori persaingan yang selalu mengedepankan posisi keunggulan dalam jangka pendek, sehingga menuntut untuk saling mengalahkan (zero-sum game).

Bagi orang yang belajar teori bisnis, sederet asumsi serta teori bisa menjadi tidak punya makna bila melihat fakta bahwa kepentingan bisnis selalu berlumur dengan permainan politik. Dari sejarah, kita tahu bahwa setiap kekuatan bisnis besar selalu punya pengaruh terhadap kebijakan politik. Mitos tentang bangsa Jahudi yang berbasis pada kekuatan bisnis dan mampu mengendalikan kebijakan politik pada level dunia adalah contohnya.

Teoritisi Marxist memandang bahwa negara adalah representasi dari kepentingan kaum industrialis (pemilik modal). Tentu tidak harus menjadi Marxist untuk memahami bahwa kepentingan bisnis selalu menyelinap pada tubuh birokrasi negara dan jiwa politik. Dan pada kasus-kasus seperti ini, kita bisa menyebutnya sebagai praktek konspirasi.

Krisis

Resesi perekonomian Amerika yang terjadi saat ini adalah peristiwa yang menandai sebuah gejolak dari era ekonomi liberal. Kemudian, sebagian kalangan teoritisi mempertanyakan kembali legitimasi teori pasar yang terlalu berorientasi pada proses deregulasi. Pemberian wewenang yang terlalu besar kepada pasar telah mengandung bahaya hilangnya aturan (no-regulation), bukan lagi berkurangnya aturan (de-regulation) sebagaimana dimaksudkan.

Akhir-akhir ini, teori campur tangan pemerintah kembali menjadi tema diskusi. Evolusionisme pasar bebas telah mengarahkan seluruh institusi yang mengiringinya menjadi sangat defensif, hanya berorientasi pada kepentingan jangka pendek. Untuk itu, butuh otoritas negara untuk kembali hadir dan mengatur agar persaingan tidak menjadi destruktif.

Kenapa dalam hal ini negara tidak hadir sebagai penegak hukum yang keras, meski harus dibayar dengan tidak maksimalnya pendapatan negara? Karena meski dalam jangka pendek tidak menguntungkan, tetapi dengan begitu reputasi sedang ditegakkan. Dan jangan lupa, reputasi adalah sumber daya penting dalam jangka panjang.
Sesuatu yang hilang dari fenomena bisnis adalah reputasi. Jika semua pihak berorientasi pada pragmatisme, dan pertimbangan kuantitas uang selalu dikedepankan, maka krisis akan terus menyerang jantung peradaban bisnis. Dan pergeseran dari negara yang kuat menuju bisnis yang dominan (atau sebaliknya) tidak akan memberikan solusi apa-apa. Kecuali semuanya itu diabdikan pada penegakan aturan main dan etika profesional dalam rangka membangun reputasi yang mengarah pada tujuan jangka panjang.

Nampaknya berbagai persoalan ekonomi yang muncul belakangan ini hanyalah simptom dari krisis yang lebih dalam, yaitu krisis terhadap nilai-nilai kelembagaan, baik lembaga politik maupun bisnis, yang sekaligus menandai hancurnya reputasi.

GCG

Berdasarkan uraian di atas, maka dianggap sangat penting apabila pemerintah Indonesia menambah intervensi terhadap pasar dengan asumsi akan terbangun suatu sistem proteksionis yang berfungsi mencegah dampak dari krisis dari luar maupun proteksi terhadap potensi krisis yang datang dari sistem pasar dalam negeri. Untuk itu, kelompok kami melihat urgensi implementasi pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) di Indonesia.

Good Corporate governance adalah sistem atau cara bagaimana sebuah organisasi dikelola dan diarahkan. Penerapan good corporate governance pada sebuah perusahaan akan berpengaruh terhadap kebijakan strategis maupun cara perusahaan menjalankan praktik-praktik bisnisnya. Perubahan tersebut secara langsung akan berdampak pada pencapaian kinerja secara keseluruhan. Sehingga saat ini good corporate governance diyakini sebagai kontributor utama bagi peningkatan kinerja perusahaan.

Dalam kompetisi global, dimana nilai-nilai pemegang saham (shareholders value) menjadi perhatian utama dan semakin membesarnya keterlibatan institutional investor, agenda good corporate governance akan menjadi isu sentral perusahaan. Kesadaran dan keyakinan terhadap penerapan good corporate governance juga memungkinkan para Direktur dan Dewan Komisaris untuk mencapai hasil yang terarah dan maksimal.

Selain itu Good Corporate Governance juga bisa berfungsi sebagai alat untuk menilai quality of management dari sebuah kebijakan perusahaan. Dengan demikian good corporate governance sebenarnya adalah penerapan sistem yang bisa menjamin keberlangsungan bisnis perusahaan dengan lebih baik.

Jika ditelaah secara teoritis terdapat dua penyebab yang mendorong munculnya isu tentang GCG. Pertama, terjadinya perubahan lingkungan yang begitu cepat yang berdampak pada perubahan peta kompetisi pasar global. Bahkan dalam perjalanannya, kompetisi pasar global terus meningkat karena dipacu oleh kecanggihan teknologi dan deregulasi ekonomi. Akibatnya, fenomena ini berimplikasi terhadap eksistensi perusahaan melalui privatisasi dan restrukturisasi. Selain itu kompetisi pasar ini juga menyebabkan terjadinya turbulensi, stress, resiko tinggi dan ketidakpastian bagi perusahaan. Dalam kondisi seperti ini perusahaan kemudian dituntut untuk cepat tanggap dalam merespon ancaman dan peluang yang muncul serta harus tepat dalam merancang dan menggunakan strategi dan system pengendalian yang prima untuk mempertahankan kesinambungannya. Kedua, semakin banyak dan kompleksnya pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan, termasuk rumitnya pola ownership structures, sehingga berimplikasi terhadap manajemen stakeholders.

Untuk menghadapi lingkungan dan kompetisi pasar seperti ini, maka keharusan akan adanya penerapan GCG bagi perusahaan menjadi semakin kuat serta tidak bisa dielakkan lagi. Pelaksanaan GCG di dalam perusahaan diharapkan mampu menghindari adanya praktek tidak terpuji yang dilakukan direksi, maupun bersama-sama pihak lain yang punya hubungan atau kepentingan di dalam tubuh perusahaan. Perjuangan untuk melahirkan dan menempatkan profesional yang jujur, memiliki integritas, bertanggung jawab, memiliki semangat kerja keras dan inovatif, serta independen, merupakan bagian dari upaya untuk mendukung pelaksanaan GCG.

Penerapan GCG dalam organisasi publik maupun perusahaan, penulis yakini akan menciptakan kinerja organisasi yang kuat dan berkelanjutan (sustainaible). Untuk itu, dalam merealisasikan GCG perlu ditopang oleh kekuatan sistem manajemen organisasi yang kuat dan sistemik. Hal ini akan terbangun apabila terjadi keseimbangan kepentingan antara semua pihak yang berkepentingan dengan organisasi (stakeholders) dalam rangka mencapai tujuan organisasi.

Perancangan perangkat organisasi dan sistem seperti: struktur, kebijakan, peraturan, pengawas, imbalan, dan sebagainya tidak akan berarti apabila tidak tersedianya oleh sistem pengendalian yang jelas. Untuk mengetahui apakah keseimbangan kepentingan telah tercipta maka sistem manajemen hendaknya dirancang sedemikian rupa sehingga mampu menciptakan iklim yang kondusif untuk mencapai apa yang diinginkan bersama.

Disamping itu, upaya menjalankan GCG secara maksimal, perlu didukung oleh sejumlah langkah, diantaranya; Pertama, Kekuatan visi pemimpin organisasi dan kepastian arah dan tujuan yang akan dicapai. Kedua, kepemimpinan manajerial yang kuat dan mampu mentransfer visi yang dimiliki kedalam praktek manajemen sehari-hari. Ketiga, tersedianya perangkat peraturan dan ketentuan yang harus berjalan paralel dengan kebutuhan pengelolaan usaha yang baik. Keempat, fungsi pengawasan dan penegakkan aturan yang berjalan. Kelima, terjalinnya hubungan profesional antara akuntan publik, konsultan hukum, dan professional lainnya. Keenam, adanya kemampuan dan pengetahuan eksekutif puncak dan para pengawas perusahaan (komisaris bila di perusahaan). Dengan dukungan semua pihak, penerapan prinsip GCG dalam perusahaan akan lebih menjamin kinerja organisasi secara kuat dan berkelanjutan.

BEGINILAH KITA

Orang Indonesia sedang bercakap-cakap dengan orang Eropa

Orang Indonesia bertanya pada orang Eropa, berapa gajimu dan untuk apa

saja uang sejumlah itu?

Orang Eropa menjawab, "Gaji saya 3.000 Euro, 1.000 euro untuk tempat tinggal, 1.000 Euro untuk makan, 500 Euro untuk hiburan."

Lalu sisa 500 Euro untuk apa? tanya orang Indonesia. Orang Eropa menjawab secara ketus!, "Oh ... itu urusan saya, Anda tidak berhak bertanya!"

Kemudian orang Eropa berbalik bertanya. Kalau anda bagaimana?

"Gaji saya Rp950 ribu, Rp450 ribu untuk tempat tinggal, Rp350 ribu untuk makan, Rp250 ribu untuk transport, Rp200 ribu untuk sekolah anak, Rp200 ribu untuk bayar cicilan pinjaman, ... Rp100 ribu untuk....".

Penjelasan orang Indonesia terhenti karena orang Eropa menyetop penjelasan itu dan langsung bertanya.

"Uang itu jumlahnya sudah melampui gaji anda. Sisanya dari mana?" kata orang Eropa itu keheranan.

Kemudian, orang Indonesia itu menjawab dengan enteng," begini Mister, tentang uang yang kurang, itu urusan saya, anda tidak berhak bertanya-tanya"...